Senin, 10 Januari 2011

BPLS vs APBN Rp 155 miliar ?????/ Ko Bertentangan y??? siduarjo yang terabaikan


Jakarta Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dapat kucuran dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 155 miliar pada tahun 2011. Dana ini akan digunakan untuk kegiatan mitigasi penanggulangan semburan lumpur.

Dalam UU APBN 2011 menyebutkan, dalam rangka penyelamatan perekonomian dan kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitar tanggul lumpur Sidoarjo, APBN mengalokasikan anggaran untuk BPLS dengan pagu sebesar Rp 155 miliar.

Anggaran tersebut dapat digunakan untuk kegiatan mitigasi penanggulangan semburan lumpur, termasuk di dalamnya penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong dengan mengalirkan lumpur dari tanggul utama ke Kali Porong.
Pelaksanaan kegiatan mitigasi penanggulangan semburan lumpur tersebut diatur lebih lanjut oleh Pemerintah, jelas UU APBN 2011 pasal 19 yang dikutip portalnewsFinance, Rabu (27/10/2010).
Selain itu, terdapat alokasi dana tambahan untuk melunasi kekurangan pembayaran pembelian tanah, bantuan kontrak rumah, tunjangan hidup, dan biaya evakuasi di luar peta terdampak pada 3 Desa, yaitu Desa Besuki, Desa Kedung Cangkring, dan Desa Pejarakan.
Juga bantuan kontrak rumah, tunjangan hidup, biaya evakuasi, dan relokasi 9 RT di 3 desa yaitu Desa Siring Barat, Desa Jatirejo, dan Desa Mindi.
Kekuarangan pembayaran pembelian tanah di luar peta area terdampak pada 3 desa tersebut disesuaikan dengan tahapan pelunasan yang dilakukan PT Lapindo Brantas, tulis UU APBN 2011 pasal 18.
Sebelumnya, pemerintah merencanakan alokasi anggaran untuk BPLS sebesar Rp 1,3 triliun dalam RUU APBN 2011. Jumlah ini secara nominal meningkat sebesar Rp 70 miliar atau 5,8% dibandingkan alokasi anggaran belanja BPLS dalam APBN-P 2010 sebesar Rp 12 triliun.
Rencana alokasi tersebut ditujukan untuk melaksanakan 2 program, yaitu program penanggulangan bencana lumpur Sidoarjo dengan alokasi anggaan sebesar Rp 1,3 triliun serta program dukungan manajemen dan pelaksaaan tugas teknis lainnya dengan alokasi anggaran sebesar Rp 22,8 miliar.
(nia/ang)




Refleksi Akhir Tahun 2010 (Sidoarjo)
Belasan Ribu Rumah Tenggelam, Ganti Rugi Tetap Bermasalah



31 Desember 2010 13:35:41 WIB Reporter : M. Ismail 


Sejak menyembur 29 Mei 2006 silam, luapan lumpur yang keluar dari area sumur Banjar Panji I milik Lapindo Brantas Inc di Desa Renokenongo Porong masih belum juga menunjukkan kapan akan berhenti. Segala upaya sudah dilakukan pemerintah dan Lapindo Brantas Inc, namun sama sekali tidak membawa hasil. Hal ini juga mengancam akan membawa dampak akan semakin meluasnya wilayah yang terkena dampak.



Luapan lumpur yang sangat dahsyat ini telah menenggelamkan belasan ribu rumah warga di dua belas desa di tiga kecamatan. Masing-masing Desa Renokenongo, Jatirejo, Siring, Glagah Arum dan Mindi Kecamatan Porong, Desa Kedungbendo, Ketapang, Gempolsari dan Ketapang Kecamatan Tanggulangin, serta Desa Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring Kecamatan Jabon.


Kedua belas desa tersebut kemudian dimasukkan area peta berdampak. Luas area peta berdampak tersebut adalah 640 hektare dihuni oleh 10.106 keluarga atau 37.850 jiwa. Lumpur yang sudah keluar, tertampung Luas areal peta berdampak sesuai Perpres Nomor 14 tahun 2007 seluas 640 hektare, kini sudah menjadi kolam penampungan lumpur yang kondisinya sudah overload. Baik itu di wilayah Porong, Jabon maupun Tanggulangin.

Untuk penanganan, pemerintah sudah mengeluarkan triliunan rupiah uang rakyat untuk menangani semburan lumpur melalui Badan Penanganan Lumpur Sidoarjo (BPLS) selaku penanggungjawab penanganan lumpur. Sejak tahun 2007 hingga 2010, pemerintah sudah menggelontorkan Rp 4,3 triliun untuk alokasi penanganan lumpur. Pada tahun 2007 sebesar Rp 450 miliar, tahun 2008 sebesar Rp 1,57 triliun, tahun 2009 sebesar Rp 1,15 triliun dan tahun 2010 sebesar Rp 1,2 triliun.

Terhambat Minarak Lapindo

Sebelum BPLS, pernah dibentuk Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Sidoarjo namun masa kerjanya hanya beberapa bulan. Dari total anggaran tersebut BPLS baru menggunakan kira-kira Rp 1,3 triliun lebih sedikit karena ada beberapa kendala di lapangan. Daya serap anggaran tersebut memang kecil bahkan lebih kecil saat dibandingkan saat penanganan lumpur masih dipegang Timnas Penanggulangan Lumpur. Timnas saat itu yang bekerja hanya beberapa bulan sudah menghabiskan anggaran sekitar Rp 1,5 triliun.

BPLS menyatakan, kendala yang ada di lapangan memang juga tidak terlepas dari penanganan yang dilakukan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) sendiri. Soal penanganan ganti rugi warga korban lumpur misalnya, BPLS diserahi tanggung jawab membayar warga di tiga desa di Kecamatan Jabon yaitu Desa Besuki, Kedungcangkring dan Pejarakan. Warga di tiga desa tersebut baru mendapat ganti rugi 50% dengan nilai lebih dari Rp 260 miliar.

Sebab, BPLS harus menunggu penyelesaian ganti rugi PT MLJ atas warga korban lumpur lama di sembilan desa yang jumlahnya mencapai lebih dari 13 ribu berkas yang menjadi tanggung jawab PT MLJ, baru diselesaikan 67 persen saja. Padahal, BPLS sebenarnya bisa saja melunasi ganti rugi warga di tiga desa tersebut namun harus menunggu warga korban lumpur lama di sembilan desa dilunasi terlebih dulu oleh PT MLJ.

“Itu sudah diatur dalam Perpres Nomor 40 tahun 2009. BPLS memang tidak diperbolehkan membayar warga korban lumpur yang masuk areal peta berdampaknya belakangan, sebelum warga korban lumpur lama tertangani penyelesaiannya oleh PT MLJ,” kata Ahmad Kusairi Wakil Humas BPLS.

Tersendatnya pembayaran ganti rugi melalui cicilan sebesar Rp 15 juta per bulan juga sempat membuat warga korban lumpur asal Porong sedikit meradang karena Bakrie membantu PSSI dengan menghadiahi sebuah lapangan bola untuk latihan seluas 25 hektar dan uang tunai Rp 5,5 miliar. "Mestinya tanggungjawabnya melunasi ganti rugi korban lumpur didahulukan, dari pada mengutamakan PSSI," gerutu Sulastri korban lumpur asal Gempolsari Tanggulangin yang tanahnya belum di verifikasi PT MLJ dalam soal ganti rugi.

Gas Liar Menghantui

Selain penanganan pembayaran ganti rugi yang tersendat, BPLS juga mengalami kendala dalam pembangunan relokasi infrastruktur jalan arteri Porong. Dari kebutuhan lahan seluas 123,7 hektare, BPLS baru bisa membebaskan seluas 82% saja. Masih ada beberapa keluarga yang menolak tanahnya dilepaskan karena meminta transparansi harga dan menuntut harga lebih tinggi.

Saat ini, semburan lumpur ini tetap menjadi ancaman bagi warga. Terutama warga di luar peta berdampak yang berada di sebelah barat Jalan Raya Porong. Mereka adalah warga Kelurahan Siring wilayah barat, Jatirejo wilayah barat, Ketapang wilayah barat, Pamotan dan Wunut. Di wilayah tersebut, ratusan gas liar (bubble) bermunculan dan dalam sebulan terakhir ini total 176 bubble yang ada kembali aktif semua.

Di wilayah tersebut, aroma gas sejenis metan sudah menjadi santapan sehari-hari warga yang menetap di sana. Air sumur pun juga menjadi buruk kualitasnya sehingga tidak bisa dikonsumsi lagi. Tidak itu saja, semburan gas liar juga sempat merobohkan sebuah rumah warga di Kelurahan Siring. Sementara semburan gas liar di Desa Jatirejo wilayah barat sempat menggerus pemakaman di sana. Sedikitnya enam makam warga di areal pemakaman ini tergerus hingga tulang belulang dan nisan di dalamnya hilang.

Semburan gas liar juga menyebabkan lima ruang kelas SDN Ketapang dan satu ruang belajar Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita Persatuan Desa Ketapang juga harus dikosongkan. Sebab di wilayah sekolah ini gas liar sudah masuk kelas, lantai dan dinding kelas juga dalam kondisi retak-retak sangat memprihatinkan.

Selain bahaya semburan gas liar yang mudah terbakar saat disulut api, warga juga harus was-was dengan bahaya patahan tanah (subsidence). Sebab, dari hasil penelitian BPLS titik patahan terparah memang mengarah ke barat dari pusat semburan. Pada tahun 2009, tingkat patahan mencapai hampir 60 centimeter.

Relokasi Tersendat

Untuk pelepasan tanah ini saja, BPLS sudah mengeluarkan anggaran tidak kurang dari Rp 281 miliar. Akibat kendala tersebut, pembangunan fisik relokasi jalan arteri juga baru berjalan 50%.

Namun pembangunan jalan arteri ini relatif lebih baik dibandingkan rencana pembangunan relokasi jalan tol dan rel kereta api. Pembangunan jalan tol baru tersebut saat ini malah belum dimulai sama sekali karena menunggu penyelesaian ganti rugi.

Sementara pembangunan rel kereta api baru bisa dikerjakan di lahan yang merupakan milik PT Kereta Api Indonesia. Pembangunan di lahan milik warga belum dimulai karena belum ada pembebasan tanah sama sekali. Padahal relokasi infrastruktur tersebut sebenarnya ditarget selesai dan diresmikan 17 Agustus 2011 mendatang.

Bupati Saiful Ilah juga sudah melaporkan masalah ini kepada Pemprop Jatim soal belum beresnya pembebasan tanah warga untuk relokasi infrastruktur. Pemprop juga sudah melaporkan kepada pihak Tim pengarah BPLS di Jakarta. Tim pembebasan tanah akhirnya akan kembali melakukan negosiasi kepada warga yang tanahnya masih keberatan untuk dibebaskan keperluan relokasi. "Kalau tetap alot dan meminta harga di luar kemampuan pemerintah, maka akan dilakukan konsinyasi," terang Saiful. [isa/but]

 JAKARTA

VS
SIDOARJO

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:
:nangis :rate :lebay :hoax :nyimak :hotnews :gotkp :wow :pertamax :lapar :santai :malu :ngintip :newyear

Posting Komentar